Jidat Mendem

Jidat Mendem berupaya menjadi salah satu tempat dakwah dan penyebaran Agama Islam.

Sejarah

Awalnya web ini direkomendasikan oleh perusahaan sebagai sarana dakwah internal untuk mempermudah karyawan dalam menuntut Ilmu.

Artikel

Kami menulis artikel dari beberapa kutipan buku-buku Islam, sejarah Islam, Kutbah Jum'at, Kuliah Shubuh & Duha dan Lain-lainnya.

Minggu, 30 Oktober 2016

Tugas Sistem Basis Data : dBase III Plus

Download PDF : https://goo.gl/y0qolX

Jumat, 10 Juli 2015

Artikel : Agar Jangan Sampai Dikatakan...

Khalifah Umar sedang duduk beralas surban di bebayang pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Sahabat di sekelilingnya sedang syura' (rapat) membahas aneka soal. Tiga orang pemuda datang menghadap. Dua bersaudara berwajah marah yang mengapit pemuda lusuh yang tertunduk dalam belengguan mereka. "Tegakkan keadilan untuk kami Amirul Mu'minin, Qishash-lah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatannya!" ujar seorang pengapit.

Umar bangkit meminta si lusuh mengkronologikan. "Aku datang dari pedalaman jauh. Kaumku memercayakan berbagai urusan muamalah untuk kuselesaikan di kota ini," ungkapnya.

"Saat sampai," lanjutnya, "kutambatkan untaku di satu tunggul kurma, lalu kutinggalkan ia. Begitu kembali, aku terkejut dan terpana. Tampak olehku seorang lelaki tua sedang menyembelih untaku di lahan kebunnya yang tampak rusak terinjak tanamannya. Sungguh aku sangat marah dan dengan murka ku cabut pedang hingga terbunuhlah si bapak itu. Dialah rupanya ayah kedua saudaraku ini."

"Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda saleh lagi baik budinya," ujar Umar, "dia membunuh ayah kalian karena illat kemarahan sesaat."

"Izinkan aku, meminta kalian berdua untuk memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat atas kematian ayahmu," ujar Khalifah.

"Maaf, Amirul Mu'minin, bahkan harta sepenuh bumi dikumpulkan untuk kami, hati kami hanya ridha jika jiwa dibalas jiwa!" ujar penggugat.

"Wahai Amirul Mu'minin, tegakkan hukum Allah, hanya saja izinkan aku menunaikan semua amanah dan kewajiban yang tertanggung ini. Aku berjanji akan kembali 3 hari dari sekarang untuk menyerahkan jiwaku," ujar terdakwa.

"Mana bisa begitu!" teriak penggugat.

"Nak," ujar Umar, "tak punyakah kau kerabat dan kenalan yang bisa dilimpahi urusan ini?"

"Sayangnya tidak, Amirul Mu'minin," ujar si ksatria itu.

"Baik," sahut Umar, "kau kuberi tangguh 3 hari tanpa harus ada seseorang yang menjaminmu."

"Aku tidak memiliki seorang kerabat disini," ujar tergugat.

"Harus ada orang yang menjaminnya! Andai pemuda ini ingkar janji, siapa yang akan gantikan tempat untuk di qishash?" ujar penggugat.

"Jadikan aku penjaminnya, hai Amirul Mu'mini!" ujar Salman al-Farisi dari arah hadirin.

"Salman?" hardik Umar, "demi Allah engkau belum mengenalnya! Jangan main-main dengan urusan ini! Cabut kesediaanmu!"

"Pengenalanku kepadanya, tak beda dengan pengenalanmu, ya Umar," ujar Salman, "aku percaya kepadanya sebagaimana engkau memercayainya."

 Dengan berat hati, Umar melepas pemuda itu dan menerima penjaminan yang dilakukan oleh Salman baginya.

Tiga hari berlalu. Detik-detik menjelang eksekusi begitu menegangkan. Pemuda itu belum muncul. Umar gelisah mondar-mandir. Penggugat mendecak kecewa. Semua hadirin sangat mengkhawatirkan. Mentari nyaris terbenam.

Tapi, Salman dengan tenang dan tawakal melangkah siap ke tempat qishash. Isak pilu tertahan. Tetapi, sesosok bayangan berlari terengah dalam temaram, terseok, dan nyaris merangkak.

"Itu dia!" pekik Umar.

Pemuda itu dengan tubuh berkuah peluh dan nafas putus-putus ambruk dipangkuan Umar.

"Maafkan aku," ujarnya, "hampir terlambat. Urusan kaumku memakan banyak waktu. Kupacu tungganganku tanpa henti hingga sekarat dan terpaksa ku tinggal lalu aku berlari."

"Demi Allah," ujar Umar sambil menenangkan dan memberinya minum, "bukankah engkau bisa lari dari hukuman ini? Mengapa susah payah kembali?"

"Supaya jangan sampai ada yang mengatakan," ujar terdakwa dalam senyum, "dikalangan kaum Muslimin tak ada lagi ksatria tepat janji."

"Lalu kau Salman," ujar Umar berkaca-kaca," mengapa mau jadi penjamin seseorang yang tak kau kenal sama sekali?"

"Agar jangan sampai dikatakan," jawab Salman teguh, "dikalangan kaum Muslimin tak ada lagi saling percaya dan menanggung beban saudaranya."

"Allahu Akbar!" pekik dua pemuda penggugat sambil memeluk terdakwa, "Allah dan kaum Muslimin jadi saksi bahwa kami memaafkannya."

"Kalian memaafkannya?" Umar maki haru, "jadi dia tidak di qishash?
Allahu Akbar! Mengapa?"

"Agar jangan ada yang merasa," sahut keduanya masih terisak, "dikalangan kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan dan kasih sayang."
(sumber: buku Dalam Dekapan Ukhuwah).

Rabu, 08 April 2015

Artikel : Keutamaan Menjenguk Orang Sakit

          Mengunjungi dan menjenguk orang sakit merupakan kewajiban setiap muslim, terutama orang yang memiliki hubungan dengan dirinya, seperti kerabat dekat, tetangga, saudara yang senasab, sahabat dan lain sebagainya. Menjenguk orang sakit termasuk amal shalih yang paling utama yang dapat mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala, kepada ampunan, rahmat dan Surga-Nya.

⁠Mengunjungi orang sakit merupakan perbuatan mulia, dan terdapat keutamaan yang agung, serta pahala yang sangat besar, dan merupakan salah satu hak setiap muslim terhadap muslim lainnya.
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda:

إِذَا عَادَ الرَّجُلُ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ مَشَى فِيْ خِرَافَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسَ فَإِذَا جَلَسَ غَمَرَتْهُ الرَّحْمَةُ، فَإِنْ كَانَ غُدْوَةً صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ كَانَ مَسَاءً صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ.

Apabila seseorang menjenguk saudaranya yang muslim (yang sedang sakit), maka (seakan-akan) dia berjalan sambil memetik buah-buahan Surga sehingga dia duduk, apabila sudah duduk maka diturunkan kepadanya rahmat dengan deras. Apabila menjenguknya di pagi hari maka tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar mendapat rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya di sore hari, maka tujuh puluh ribu malaikat mendo’akannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dengan sanad shahih).

Terakhir, hendaknya orang yang membesuk mendoakan orang yang sakit:

لاَ بَأْسَ طَهُورٌ اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ

Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membersihkanmu dari dosa-dosa, Insya Alloh.” (HR. al-Bukhari).

Atau doa:

 أَسْأَلُ اللَّهَ العَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ أَنْ يَشْفِيَكَ

Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, agar menyembuhkan penyakitmu.” (HR. at-Tirmidzi, dan Abu Daud)


Sumber : Muslim.or.id

Artikel : Fatimah Az Zahra’

          Nama lengkapnya adalah Fatimah binti Muhammad bin Abdullah bin abu Muthalib. la lahir lima tahun sebelum masa diutusnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. la merupakan putri termuda di antara putri-putri Nabi lainnya. la menikah dengan Ali Radhiyallahu Anhu pada usianya yang ke 18 tahun. la merupakan ibu dari Hasan, Husain, Ummul Kultsum, dan Zaenab.

Ketika turun kepada Nabi sebuah ayat (dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya) di rumah Ummu Kultsum, maka Nabi memanggil Fatimah, Hasan dan Husain, dan menjadikan mereka sebagai pengikut, begitu pula Ali yang berada di belakang Nabi juga dijadikan sebagai pengikutnya pula. Maka berkatalah Nabi “Ya Allah! Mereka semua ini adalah keluargaku. Hilangkanlah dari mereka segala kotoran, dan bersihkanlah (sucikanlah) sebersih-bersihnya”. (Diriwayatkan oleh Turmudzi)

Miswar bin Makhramah berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata di atas mimbar “bahwasannya Hisyam bin al Mughoyyaroh meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Namun aku tidak menyetujuinya, dan selanjutnya pun juga tetap tidak menyetujuinya. Kecuali jika Ali bin Abi Thalib bersedia menceraikan anak perempuanku dan menikah dengan anak-anak mereka. Sesungguhnya anak perempuanku itu (Fatimah Az-Zahra’) adalah bagian dariku..”(HR. Bukhari)

Berkatalah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa wanita paling mulia di surga nanti adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, istri Firaun yang bernama Asyiah binti Muzakhim, dan Maryam binti Imran. (HR. Ahmad)

Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata “Aku bertemu dengan Fatimah. la berjalan sebagaimana layaknya Nabi berjalan. Dan disaat ia bertemu dengan Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam, berkatalah Nabi “selamat datang wahai putriku”, lalu nabi memintanya duduk di sebelah kanan atau kirinya. Kemudian di saat nabi mengatakan sesuatu kepadanya, menangislah ia. Maka aku langsung berkata kepadanya “kenapa kamu menangis?” Namun, di saat nabi mengatakan sesuatu lagi kepada Fatimah, maka ia pun tertawa riang. Sekali lagi, aku pun berkata kepada Fatimah “aku tidak pernah menjumpai kebahagiaan yang berdekatan dengan kesedihan sebagaimana hari ini” Maka aku bertanya kepadanya tentang apa yang telah dikatakan Nabi kepadanya. Berkatalah Fatimah “kamu jangan menyebarluaskan rahasia ini hingga Nabi wafat nanti.” Lalu aku menanyakan rahasia itu, maka berkatalah Fatimah ”Nabi telah memberi isyarat kepadaku, dan berkata bahwa Jibril biasanya meminta kepadaku (Nabi) untuk membaca al-Qur’an secara langsung di hadapannya sekali dalam setahun. Namun pada tahun ini, Jibril memintaku (Nabi) sebanyak dua kali”, maka menangislah aku mendengar perkataan itu. Sebab, itu tandanya Nabi akan meninggalkan kita semua. Namun aku merasa sangat bahagia di saat Nabi berkata kepadaku “relakanlah dirimu menjadi ratu wanita-wanita penghuni surga, atau menjadi ratu wanita-wanita muslim” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari)

Anas Radhiyallahu Anhu berkata “di saat sakit Nabi mulai parah dan berselimut, berkatalah Fatimah “sakitkah wahai ayah?” Maka berkatalah Nabi kepadanya” ayahmu tidak akan mengalami kesusahan setelah hari ini.” Dan ketika Nabi wafat, berkatalah Fatimah “wahai ayah, Tuhan telah mengabulkan permohonanmu. Wahai ayah, surga firdaus adalah tempat kembalimu. Wahai ayah, Jibril lah yang akan memperhatikanmu.

Dari Aisyah Radhiyallahu Anha Ummul Mukminin (ibunya kaum beriman), berkata “aku tidak pernah melihat seorang pun yang mampu menyamai Fatimah dalam hal keserupaannya dengan Nabi. Ketenangan dan keistiqamahannya dalam duduk maupun berdiri sebagaimana ketenangan dan keistiqamahan Nabi. la disaat masuk ke rumah Nabi, Nabi langsung berdiri menyambut kedatangannya. Begitu pula disaat Nabi mengunjungi rumah Fatimah, ia pun beranjak dari tempat duduknya untuk menyambut Nabi, dan memberikan tempat duduknya kepada Nabi.” (Diriwayatkan oleh Turmudzi).

Ibnul Jauzi berkata “bahwa Rasulullah mempunyai anak perempuan yang dimuliakan oleh Fatimah, dan mempunyai istri-istri yang lebih dahulu dari Aisyah.”

Fatimah meninggal dunia 6 bulan setelah kematian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. la meninggal dunia dalam usianya yang ke 29 tahun.

Sumber: Dakwatuna.com

Selasa, 07 April 2015

Artikel : Korupsi Waktu

          Termasuk yang diperhatikan dalam pembahasan korupsi adalah korupsi waktu. Di mana seseorang lalai dengan amanah mengenai waktu yang telah dijanjikan atau disepakati misalnya dalam hal pekerjaan atau sesuatu yang berkaitan dengan waktu. Contoh korupsi waktu misalnya seorang pegawai atau PNS yang tidak amanah dalam waktu, masuk kerja terlambat dan tanpa izin atau bahkan makan gaji buta tanpa kerja sama sekali.

Hendaknya seseorang menunaikan amanatnya

Bagi seorang pegawai yang telah berjanji akan melaksanakan amanahnya, yaitu bekerja dengan waktu-waktu tertentu dan ia memang digaji untuk hal itu, hendaknya berusaha menunaikan amanahnya sebaik mungkin, begitu juga dengan jam kerjanya, hendaknya ia gunakan jam kerja yang telah disepakati untuk benar-benar bekerja sesuai dengan amanahnya. Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita agar menunaikan amanah dengan profesional dan sebaik mungkin.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kalian untuk menunaikan amanat kepada yang berhak” (An Nisaa’: 58).

Seorang muslim juga berusaha menunaikan dan melaksanakan persyaratan yang telah ia setujui.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

“Umat Islam berkewajiban untuk senantiasa memenuhi persyaratan mereka” (HR. Muslim).

Termasuk ciri munafik (shugra/kecil) adalah tidak menepati janji atau persyaratan yang telah ia setujui.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tiga tanda munafik ada tiga, jika berkata ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari dan ketika diberi amanat, maka ia berkhianat” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seorang pegawai harus bekerja sesuai dengan jam kerjanya

Termasuk korupsi waktu adalah tidak bekerja di jam kerjanya tanpa izin yang jelas atau menggunakan jam kerja untuk keperluan lain yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini dilarang oleh syariat dan hendaknya ia menunaikan kewajibannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الأُمَّهَاتِ، وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وَمَنَعَ وَهَاتِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan mendurhakai ibu, membunuh anak perempuan, dan mana’a wahaat” (HR. Bukhari dan Muslim).

Arti dari (منع وهات) “mana’a wahaat” adalah tidak mau melaksanakan kewajiban atau menuntut apa yang bukan menjadi haknya.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata menjelaskan hadits,

أنه نهى أن يمنع الرجل ما توجه عليه من الحقوق أو يطلب ما لا يستحقه

“Rasulullah melarang seseorang tidak melaksakan kewajiban yang ada padanya atau menuntut apa yang bukan menjadi haknya.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim)

Jadi, seorang muslim tidak boleh hanya menuntut haknya saja, menuntut dibayarkan gaji bulanan secara rutin, sedangkan ia tidak menunaikan amanahnya dengan baik. Tidak masuk kantor tepat waktu, itupun masuk kantor pada jam-jam tertentu saja dan sering bolos, keluar tanpa izin, menggunakan waktu jam kantor untuk bermain game atau urusan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya.

Bagaimana dengan beribadah ketika jam kerja

Beribadah di waktu jam kerja misalnya shalat dhuha atau mengaji perlu dirinci, jika ibadah yang wajib seperti shalat dzuhur, maka saat itu pekerjaan wajib ditinggalkan dan seharusnya atasan memberikan waktu untuk menunaikan shalat wajib. Akan tetapi untuk ibadah yang sunnah misalnya shalat dhuha, maka sebaiknya jangan meninggalkan jam kerja untuk shalat dhuha kecuali atasan telah memberi izin atau atasan telah memaklumi atau bisa juga dilakukan di sela-sela waktu istirahat.
Berikut Fatwa dari Al-Lajnah Ad-Daimah (semacam MUI di Saudi) terkait hal ini.

Pertanyaan:

هل يجوز أداء صلاة الضحى خلال وقت الدوام الرسمي ، خاصة إذا تزايد عدد المصلين إلى حد قد يؤدي إلى التأخير في إنجاز العمل الرسمي؟ آملين أن تكون الإجابة مكتوبة. جزاكم الله خيرًا .

“Apakah diperbolehkan (bagi karyawan) untuk mengerjakan shalat dhuha selama jam kerja resmi, terutama ketika bertambahnya orang yang shalat sehingga dapat menyebabkan pekerjaan mereka tidak selesai pada waktunya? Kami harap anda bias memberikan jawaban tertulis.”

Jawaban:

ج: الأصل أن النوافل في البيوت؟ لقوله صلى الله عليه وسلم: أفضل صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة ، وقوله صلى الله عليه وسلم: اجعلوا من صلاتكم في بيوتكم ولا تتخذوها قبورًا متفق عليه، وعلى هذا فلا ينبغي للموظف أن يعطل العمل الذي هو واجب عليه لأجل نافلة؛ لأن صلاة الضحى سنة فلا يترك واجب لأجل سنة، ويمكن للموظف أن يصلي الضحى في بيته قبل أن يأتي للعمل بعد ارتفاع الشمس قدر رمح، أي بعد خروج وقت النهي، ويقدر ذلك بعد شروق الشمس بربع ساعة تقريبًا.

Pada dasarnya, ibadah sunnah itu dikerjakan di rumah, karena beliau shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أفضل صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة

“Seutama-utamanya shalat seseorang yaitu di dalam rumahnya, kecuali shalat fardhu” (HR. Bukhari & Muslim)

اجعلوا من صلاتكم في بيوتكم ولا تتخذوها قبورًا

“Jadikanlah sebagian shalat kalian di dalam rumah, dan janganlah kalian menjadikan rumah kalian sepeti kuburan” (HR. Bukhari & Muslim).

Seeorang karyawan seharusnya tidak menghentikan pekerjaannya yang menjadi kewajibannya dengan melakukan ibadah sunnah. Seorang karyawan bisa melakukan shalat dhuuha di rumah sebelum mereka berangkat bekerja sesaat setelah terbitnya matahari, yaitu setelah waktu nahiy (Waktu dilarang untuk melakukan shalat yaitu setelah shalat subuh hingga terbitnya fajar) sekitar 15 menit setelah matahari terbit.

Termasuk memakan harta dengan cara yang batil jika terus-menerus korupsi waktu

Jika korupsi waktu terus-menerus dilakukan oleh seorang pekerja, sementara ia terus menerima gaji utuh, bisa jadi ia menerima gaji buta. Demikian ini termasuk memakan harta dengan cara yang batil. Hartanya bisa jadi tidak berkah.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Ustaimin rahimahullah menjelaskan,

و نظرنا لمجتمعنا اليوم لم نجد أحداً يسلم من خصلة يفسق بها، إلا مَنْ شاء الله، فالغِيبة فسق وموجودة بكثرة، والتغيب عن العمل، والإصرار على ذلك، وكونه لا يأتي إلا بعد بداية الدوام بساعة، ويخرج قبيل نهاية الدوام بساعة مثلاً، فالإصرار على ذلك فسق؛ لأنه ضد الأمانة، وخيانةٌ، وأكلٌ للمال بالباطل؛ لأن كل راتب تأخذه في غير عمل، فهو من أكل المال بالباطل

“Jika kita melihat masyarakat kita sekarang, maka kita akan mendapati tidak ada (sedikit) yang selamat dari sifat kefasiqan kecuali yang Allah kehendaki (selamat dari itu). Misalnya seperti perbuatan ghibah yang termasuk perbuatan fasiq (dan banyak terjadi), bolos kerja yang terus dilakukan, serta perbuatan pegawai yang terlambat masuk kerja (yang telah dimulai satu jam sebelumnya) dan pulang kerja satu jam lebih cepat dari yang seharusnya. Terus menerus melakukan hal itu adalah termasuk kefasiqan karena ini termasuk berkhianat dan tidak sesuai amanah serta memakan harta dengan cara yang batil. Karena setiap gaji yang anda terima tanpa diimbangi dengan pekerjaan maka ini termasuk memakan harta dengan cara yang batil” (Asy-Syarh al-Mumti’ 15/278).

Oleh karena itu, mari kita tunaikan amanah yang kita pikul sebaik mungkin, sehingga harta yang kita dapatkan dari bekerja bisa mendapatkan berkah dan kebaikan yang banyak.

Demikian semoga bermanfaat

Sumber : Muslim.or.id

 

ShoutMix chat widget